-->
bWJ4VIvabJt7GuIhCGKP0i6PjNDtbsjBe315cFMJ
Bookmark

PROMOSIKAN BISNIS ANDA DISINI - HUBUNGI: 0821 3105 7771

Hoegeng: Jenderal Polisi yang Tak Tergoda Uang dan Kekuasaan

Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso (dok.ist)

“Di Indonesia ini, hanya ada tiga polisi yang jujur: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.”
— Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden RI ke-4.

GARDAJATIM.COM : Di sebuah rumah sederhana di Pekalongan, pada 14 Oktober 1921, lahir seorang bayi laki-laki dari pasangan jaksa dan ibu rumah tangga. 

Mereka menamainya Iman Santoso. Kelak, dunia mengenalnya sebagai Hoegeng, polisi paling jujur yang pernah dimiliki Republik ini.

Berasal dari keluarga terpandang, Hoegeng muda mengenyam pendidikan di sekolah elite Hindia Belanda: HIS, MULO, hingga AMS. 

Cerdas dan penuh semangat, ia diterima di Recht Hoge School (RHS) Batavia untuk menekuni ilmu hukum. Namun nasib bangsa yang dililit perang dan kolonialisme membelokkan langkahnya.

Saat Jepang menjajah, Hoegeng tak tinggal diam. Ia masuk pendidikan polisi bentukan Jepang dan bertugas di Jomblang, Semarang, sebagai wakil kepala polisi. 

Setelah Indonesia merdeka, ia sempat bergabung dengan TNI AL sebelum kembali menempuh pendidikan polisi di PTIK.

Kariernya menanjak cepat. Tahun 1952, ia menjabat Kepala DPKN Surabaya—semacam unit pengawasan intelijen. 

Tahun 1956, ia jadi Kepala Reserse Kriminal di Medan, sebuah kota yang saat itu penuh aroma kejahatan ekonomi dan kekuasaan gelap.

Hoegeng tidak hanya berkarier dalam tubuh Polri. Pada 1961, ia menjabat Direktur Jenderal Imigrasi. Lima tahun kemudian, ditarik Presiden Soekarno untuk duduk sebagai Menteri Iuran Negara, dan kemudian Sekretaris Kabinet dalam masa krisis nasional. 

Pada 1966, Soeharto menempatkannya sebagai Deputi Operasi Angkatan Kepolisian.

Di tengah gonjang-ganjing peralihan Orde Lama ke Orde Baru, nama Hoegeng menguat. Sosoknya yang bersih, disiplin, dan nyaris "tanpa cela" membuatnya jadi pilihan utama.

Serah terima jabatan Kapolri dari Jenderal Polisi Soetjipto Joedodihardjo (kanan) kepada Komisaris Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso (kiri) pada 15 Mei 1968. (Perpusnas RI).
Tanggal 5 Mei 1968, Hoegeng dilantik menjadi Kapolri kelima. Penunjukan itu seperti harapan rakyat untuk hadirnya penegakan hukum yang jujur di tengah transisi kekuasaan. Dan Hoegeng tak mengecewakan.

Ia langsung tancap gas: membongkar penyelundupan mobil mewah, memimpin sidak narkoba dengan menyamar, menertibkan lalu lintas, hingga mewajibkan helm bagi pengendara motor. 

Ia turun langsung ke lapangan, menyapa masyarakat, menyentuh denyut persoalan rakyat.

Pernah satu kali, sebuah sindikat menyuap petugas untuk mengeluarkan mobil Rolls Royce ilegal. Hoegeng menghentikannya sendiri di jalan. 

Ia melawan penyelundupan yang melibatkan oknum pengusaha dan aparat. Inilah titik balik.
“Ketika hukum menjadi alat kekuasaan, saya lebih memilih berhenti daripada tunduk.” — Hoegeng Imam Santoso
(Sumber: Kompas.com, artikel "Mengenang Hoegeng: Jenderal Polisi yang Jujur dan Sederhana", 14 Juli 2023).

Selama menjabat, Hoegeng tidak pernah mengizinkan anak istrinya ikut dinas ke luar negeri untuk menghindari pemborosan anggaran. Ia menolak mobil mewah pemberian seorang bandar judi. 

Bahkan, dalam salah satu laporan, disebutkan bahwa ketika Hoegeng hendak membongkar jaringan judi, ia diiming-imingi satu koper berisi uang. Ia menolaknya mentah-mentah.
“Saya masih bisa hidup dari gaji saya. Dan saya tidak ingin keluarga saya menikmati sesuatu yang bukan haknya.” — Hoegeng Imam Santoso
(Sumber: Tempo.co, 20 Juli 2022, "Mengenang Jenderal Hoegeng")

Namun integritas seperti itu rupanya tak disenangi semua pihak. Tahun 1971, ia dicopot dengan alasan “peremajaan”. 

Banyak media kala itu menyebutkan, pemberhentian Hoegeng karena terlalu jujur dan berani mengungkap korupsi kelas tinggi.

Presiden Soeharto memang tidak pernah terang-terangan mengkritik Hoegeng, tetapi sejumlah manuvernya seperti mendorong penggantian Hoegeng oleh figur yang lebih “kooperatif” banyak dibaca sebagai tekanan politik.

Tak seperti mantan pejabat lain, Hoegeng menutup masa tugasnya dengan sunyi. 

Ia menolak pensiun di luar negeri, tak hidup dalam istana, tak berbisnis, apalagi menjadi komisaris perusahaan.

Ia memilih melukis dan bermain ukulele bersama grup musik “Hawaiian Seniors” milik para purnawirawan. Di rumahnya yang sederhana di Jakarta, ia tetap melayani wawancara media, sering mengisi diskusi hukum dan moralitas.

Ia menjadi suara nurani yang terus diingat.

14 Juli 2004, Hoegeng meninggal dunia di RSCM Jakarta, akibat stroke dan komplikasi jantung. Ia wafat pada usia 82 tahun.

Tanpa protokol mewah, tanpa karangan bunga istana. Ia dimakamkan di TPU Giritama, Tonjong, Bogor — bukan di TMP Kalibata — sesuai permintaannya: kuburan rakyat biasa, bukan pahlawan negara.

Makam Kapolri ke-5, Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso di TPBU Giritama, Kemang, Bogor, Jawa Barat. 
Hari ini, lebih dari dua dekade sejak kepergiannya, nama Hoegeng tetap harum. Ia diabadikan sebagai simbol kejujuran. Tak hanya di institusi Polri, tetapi juga di tengah masyarakat sipil yang rindu akan penegakan hukum yang bermoral.

Bahkan Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah menyindir pahit betapa langkanya polisi jujur di Indonesia dengan berkata,
“Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi yang jujur: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.”
(Sumber: Liputan6.com, 1 Juli 2019)

Pernyataan ini, meski bernada satir, menjadi pengakuan tertinggi bahwa integritas Hoegeng melampaui zamannya. Ia bukan sekadar penegak hukum, tetapi simbol moral publik.

Kisah hidup Hoegeng adalah cermin bagi para penegak hukum hari ini: bahwa jabatan adalah amanah, bukan tempat mengumpulkan kekayaan. 

Di tengah arus zaman yang kian materialistik, nama Hoegeng menjadi pengingat bahwa integritas tidak lekang oleh waktu.

Ia telah pergi. Tapi nilai-nilainya tak pernah mati. (Arg)

Editor: Redaksi


Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar