-->
bWJ4VIvabJt7GuIhCGKP0i6PjNDtbsjBe315cFMJ
Bookmark
PROMOSIKAN BISNIS ANDA DISINI - HUBUNGI: +62 856-5561-5145

Transformasi Digital Pendidikan Islam: Teknologi untuk Membentuk Karakter

Dr. Moh. Nurul Huda, M.Pd. (doc. Pribadi)
GARDAJATIM.COM
:
Di tengah demam digital yang melanda dunia pendidikan, kita menyaksikan madrasah dan sekolah Islam berlomba-lomba mengadopsi teknologi.

Tablet menggantikan buku, proyektor canggih terpasang di setiap kelas, dan aplikasi pembelajaran menjadi menu harian.

Semua tampak modern dan menjanjikan. Namun, dibalik kilau kemajuan itu, sebuah pertanyaan fundamental seringkali terlupakan, apakah semua kecanggihan ini benar-benar membuat pendidikan kita lebih baik, atau kita hanya terjebak dalam "gadget-isasi" tanpa jiwa?

Arus digital memang menawarkan peluang luar biasa. Materi keislaman yang dulu eksklusif kini bisa diakses siapa saja, di mana saja.

Namun, adopsi teknologi yang latah, yang hanya meniru model dari luar tanpa filter, justru menciptakan sebuah paradoks.

Kita mengimpor kerangka kerja canggih dari Barat, namun seringkali lupa bahwa alat-alat ini lahir dari rahim budaya yang berbeda.

Akibatnya, terjadi "disonansi" atau benturan nilai. Teknologi yang netral nilai, dipaksakan pada tujuan pendidikan Islam yang sarat akan pembentukan karakter.

Inilah akar masalahnya, sebuah kegagalan manajemen dan kepemimpinan strategis, di mana kita sibuk dengan cara mengajar yang modern, tapi abai pada tujuan mendidik yang hakiki.

Mesin Canggih Tanpa Kompas Moral

Salah satu "mesin" yang populer diimpor adalah kerangka kerja bernama TPACK (Technological Pedagogical Content Knowledge).

Secara sederhana, TPACK adalah resep jitu tentang bagaimana seorang guru bisa meramu tiga elemen penguasaan teknologi, keahlian mengajar (pedagogi), dan pemahaman materi menjadi sebuah sajian pembelajaran yang efektif.

Secara teknis, kerangka ini brilian. Ia memandu guru untuk tidak sekadar "bisa pakai laptop", tapi benar-benar "bisa mengajar dengan laptop".

Namun, di sinilah letak titik butanya. TPACK adalah mesin canggih yang tidak memiliki kompas. Ia bisa menunjukkan cara paling efisien untuk mencapai tujuan, tetapi ia tidak pernah bertanya: "Apakah tujuan ini baik dan benar?".

Dalam konteks Pendidikan Agama Islam (PAI), kekosongan nilai ini sangat berbahaya. Seorang guru bisa saja merancang pembelajaran fiqh muamalah yang sangat inovatif menggunakan simulasi pasar saham online.

Secara TPACK, ia mungkin mendapat nilai A+. Namun, jika simulasi itu justru menanamkan mentalitas spekulatif dan materialistis, bukankah ia telah gagal total sebagai pendidik akhlak?

Menanamkan Jiwa pada Manajemen Teknologi

Lalu, bagaimana solusinya? Jawabannya bukan dengan menolak teknologi, melainkan dengan menanamkan "jiwa" ke dalamnya melalui manajemen yang berprinsip.

Di sinilah gagasan brilian tentang TPACK-Islami hadir sebagai jembatan. Ini bukanlah sekadar menempelkan label syariah pada teknologi, melainkan sebuah rekonstruksi fundamental yang menjadikan prinsip-prinsip luhur kepemimpinan Islam sebagai kerangka kerja manajerial yang utuh.

Alih-alih sekadar moralitas, bayangkan prinsip-prinsip ini sebagai pilar manajemen strategis. Di jantungnya, ada prinsip Amanah (tanggung jawab) yang menjadi landasan akuntabilitas; setiap keputusan dan alokasi sumber daya teknologi harus selaras dengan visi spiritual lembaga.

Pertanyaannya bergeser dari "Apakah aplikasi ini keren?" menjadi "Apakah investasi ini membantu kita menunaikan amanah pendidikan?".

Kerangka ini dilengkapi dengan filter Fathanah (kecerdasan kritis) sebagai alat manajemen inovasi, yang mencegah kita latah dan mendorong evaluasi mendalam atas setiap teknologi yang akan diadopsi.

Keputusan pun tidak lagi diambil secara top-down, karena prinsip Syura (musyawarah) menjadi praktik manajemen partisipatif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Terakhir, prinsip 'Adl (keadilan) berfungsi sebagai alat manajemen risiko, memastikan bahwa teknologi menjadi jembatan pemerataan, bukan tembok yang menciptakan kasta digital baru di antara siswa.

Dengan kerangka manajerial ini, TPACK yang tadinya hanya mesin teknis, kini memiliki kompas yang jelas. Integrasi teknologi bukan lagi sekadar urusan teknis-pedagogis, melainkan sebuah ikhtiar manajerial yang sadar nilai untuk membentuk insan kamil.

Dari Manajer Administratif ke Pemimpin Visioner

Tentu, ini bukanlah jalan yang mudah. Ini menuntut sebuah transformasi manajemen secara total. Menerjemahkan konsep ideal ini ke dalam realitas kelas yang riuh adalah tantangan besar.

Ia menuntut pergeseran dari manajer administratif yang hanya pandai mengelola anggaran dan jadwal, menjadi pemimpin strategis seorang Islamic-based educational leader yang mampu menjadi arsitek budaya di sekolahnya.

Keunggulan pendidikan Islam di era digital pada akhirnya tidak diukur dari seberapa canggih perangkat yang kita miliki. Keunggulan sejati terletak pada sejauh mana kita mampu mengelola perangkat itu secara bijaksana, adil, dan kolaboratif untuk memenuhi amanah suci dalam mendidik generasi penerus.

Tujuan akhirnya bukanlah sekadar melahirkan lulusan yang melek digital, melainkan membentuk pribadi-prinsip utuh yang memiliki landasan spiritual kokoh, berakhlak mulia, dan mampu mengarungi samudra informasi global dengan iman yang teguh sebagai kompasnya. Inilah jihad intelektual dan manajerial kita hari ini.
Oleh: Dr. Moh. Nurul Huda, M.Pd.
Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar