Masjid Tegalsari: Warisan Kyai Hasan Besari yang Menjadi Pusat Peradaban Islam Jawa

Redaksi
... menit baca
![]() |
Menara Masjid Tegalsari, Jetis, Ponorogo. (Foto: doc. Gardajatim.com) |
Di antara aliran Sungai Keyang dan Sungai Malo yang mengapit desa itu, ia mendirikan sebuah pondok yang kemudian terkenal sebagai Pondok Tegalsari, atau dalam riwayat lain disebut Pesantren Gebang Tinatar.
Kyai Hasan Besari merupakan cicit Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) dan cucu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dari garis keturunan ibu.
Dari pihak ayah, ia masih bersambung dengan Prabu Brawijaya dari Majapahit, sekaligus cucu Kyai Ageng Mohammad Besari.
Pondok Tegalsari pernah mencapai kejayaan berkat keluasan ilmu, kharisma, dan kepiawaian para pengasuhnya, khususnya pada masa Kyai Hasan Besari.
Ribuan santri datang dari berbagai daerah untuk belajar, sehingga hampir seluruh desa berubah menjadi pondok. Bahkan, asrama santri juga berdiri di desa-desa sekitar, seperti Jabung (Nglawu) dan Bantengan.
Banyak alumni pondok ini yang kemudian menjadi tokoh penting dan memberi kontribusi besar bagi bangsa. Mereka hadir dalam berbagai peran: kyai, ulama, pemimpin masyarakat, pejabat, negarawan, pengusaha, hingga pujangga keraton.
Beberapa di antaranya adalah Paku Buwana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito (Bagus Burhan), pujangga Jawa terkenal; dan H.O.S. Cokroaminoto, tokoh Pergerakan Nasional.
Menurut riwayat, pondok tersebut mengelilingi sebuah masjid yang didirikan Kyai Hasan Besari pada 1760. Masjid itu pernah direnovasi pada 1978 dan 1998 atas prakarsa Presiden Soeharto.
Afif Azhari, Ketua Yayasan Kyai Ageng Besari, menjelaskan bahwa renovasi pertama sempat menyimpang dari rancangan awal sehingga hampir mengubah wajah asli masjid yang berdiri di atas lahan satu hektare, dengan tambahan serambi dan bangunan di sisi kiri dan kanan. Renovasi kedua berusaha mengembalikan bentuk masjid seperti semula.
Secara arsitektural, masjid ini menampilkan gaya Jawa kuno. Bangunannya terdiri dari tiga bagian yang berderet dari barat ke timur.
Bagian utama berupa masjid dengan atap tajug tumpang tiga terletak di sisi barat. Di dalamnya terdapat empat saka guru, 12 saka rawa, dan 24 saka pinggir yang menopang atap tajug menggunakan sistem ceblokan.
Struktur atap tajug yang terbuka memperlihatkan brunjung berbentuk tajug peniung atau payung agung, dengan usuk yang tersusun sorot.
Mimbar kayu berukir di dalamnya merupakan replika dari mimbar asli yang sudah rusak. Sementara mihrab berupa ceruk dengan bingkai ukiran bermotif kalarnakara.
Di timur masjid berdiri pendopo beratap limasan, disusul bangunan tambahan dengan kubah logam berproporsi rendah, hasil bantuan dana dari Soeharto.
Bangunan kuno lainnya yang masih lestari adalah rumah Kyai Hasan Besari di depan masjid, dikenal sebagai satu-satunya rumah adat yang masih tersisa. Karena nilai sejarahnya, pemerintah menetapkan kawasan ini sebagai objek wisata religi.
Keunikan masjid tampak pada 36 tiang kayu jati yang menopang bangunan dan dinding setebal setengah meter. Bagian sirap, usuk, dan selukat aslinya masih bertahan hingga sebelum renovasi 1978.
Namun, setelah perbaikan 1998, keaslian masjid belum sepenuhnya pulih. Pada masjid khusus putri di sisi kanan, seluruh bagiannya telah banyak berubah dan nyaris menyerupai bangunan modern. Tempat tinggal Ronggowarsito semasa menjadi santri juga tidak lagi jelas keasliannya.
Di sisi barat masjid terdapat makam keluarga besar Kyai Hasan Besari. Setiap Ramadan, terutama di sepuluh malam terakhir, kawasan ini dipadati masyarakat yang datang berziarah dan beribadah, bahkan sampai meluas ke area desa.
Pada 1990-an, pemerintah bersama tokoh agama setempat sempat merencanakan pengembangan pondok menjadi Pesantren Ulumul Quran, namun hingga kini rencana itu belum terealisasi. Sementara itu, lembaga pendidikan modern yang masih berjalan adalah Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Ronggowarsito.
Dikutip dari berbagai sumber.
Editor: Redaksi
Sebelumnya
...
Berikutnya
...