-->
bWJ4VIvabJt7GuIhCGKP0i6PjNDtbsjBe315cFMJ
Bookmark
PROMOSIKAN BISNIS ANDA DISINI - HUBUNGI: +62 856-5561-5145

Rajah Tubuh dan Ruh: Sejarah Tato Indonesia dalam Sorotan Syariah

Ilustrasi (Foto: doc. Gatdajatim.com)
GARDAJATIM.COM
: Seni rajah tubuh atau tato bukanlah tren modern semata. Di Indonesia, tato memiliki akar budaya yang dalam, membentang sejak ribuan tahun silam dan terus berevolusi hingga menjadi simbol ekspresi diri yang diterima luas oleh masyarakat urban.

Kata “tato” berasal dari bahasa Tahiti tatau, yang berarti “membuat tanda”. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa praktik tato telah ada sejak 12.000 SM, termasuk di kalangan suku-suku kuno seperti Mesir, Inca, dan Polynesia.

Di Indonesia, jejak tato tertua ditemukan di Kepulauan Mentawai. Suku Mentawai telah mengenal seni rajah tubuh sejak 1500–500 SM. Dalam bahasa lokal, tato disebut titi, dan memiliki makna spiritual yang mendalam.

Bagi masyarakat Mentawai, tato bukan sekadar hiasan, melainkan simbol hubungan dengan alam, identitas sosial, dan status dalam komunitas.

Memasuki era modern, citra tato sempat mengalami pergeseran. Pada dekade 1990-an, tato mulai populer di kalangan atlet, terutama petinju, sebagai simbol kekuatan dan intimidasi. Motif yang dominan kala itu adalah binatang buas, yang kerap menghiasi dada dan lengan.

Namun, seiring berkembangnya media dan perubahan persepsi publik, tato kini dipandang sebagai bentuk seni dan kebebasan berekspresi.

Seniman tato lokal bermunculan, membawa gaya dan filosofi baru yang menggabungkan tradisi dengan estetika kontemporer. Tato tak lagi identik dengan stigma, melainkan menjadi bagian dari narasi budaya yang terus hidup dan berkembang.

Pandangan Islam terhadap Tato: Antara Larangan dan Kesadaran Spiritual

Dalam konteks hukum Islam, tato permanen termasuk dalam kategori yang dilarang. Mayoritas ulama fiqih, termasuk dari mazhab Syafi’i dan Maliki, menyebutkan bahwa praktik mentato tubuh tergolong haram karena dianggap sebagai bentuk mengubah ciptaan Allah.

Rasulullah SAW bersabda:

“Allah melaknat orang yang membuat tato dan orang yang meminta dibuatkan tato.”  
(HR. Bukhari dan Muslim)

Larangan ini didasarkan pada prinsip bahwa tubuh manusia adalah ciptaan Allah yang sempurna, dan tindakan mengubahnya secara permanen untuk tujuan estetika dianggap sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap ciptaan-Nya.

Namun, dalam praktiknya, sebagian ulama memberikan pengecualian jika tato dilakukan sebelum seseorang baligh atau jika penghapusannya berisiko membahayakan kesehatan. Dalam kasus seperti ini, pelaku cukup bertobat tanpa diwajibkan menghilangkan tato tersebut.

Di tengah masyarakat modern, pandangan ini menjadi bahan refleksi bagi umat Islam yang ingin mengekspresikan diri melalui seni tubuh.

Kesadaran spiritual dan pemahaman terhadap hukum syariah menjadi kunci dalam menentukan pilihan pribadi yang tetap selaras dengan nilai-nilai agama.


Dilansir dari berbagai sumber
Editor: Redaksi
Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar