Dari Ponorogo ke Lapangan Voli: Saat Kebenaran Identitas Tak Bisa Lagi Disembunyikan

Redaksi
... menit baca
![]() |
Foto: Ilustrasi Istimewa |
Seorang anak yang sejak lahir diyakini perempuan, dibesarkan dengan jilbab dan busana muslimah, kini harus berdamai dengan kenyataan: ia adalah seorang laki-laki.
Cerita ini bermula seperti kisah biasa. Seorang anak tumbuh, bersekolah, belajar mengaji. Hingga di bangku Aliyah kelas dua, perubahan fisik datang tanpa aba-aba: kumis mulai tumbuh, jakun menonjol, suara parau semakin terdengar. Di balik jilbab panjang, ada tanda-tanda yang selama ini tersembunyi.
Namun dunia remaja sering kali kejam. Teman-teman mengejek, menyebut dengan sebutan yang menyakitkan. Saudara dan tetangga ikut-ikutan.
Tekanan itu membuatnya menyerah pada sekolah. Ia memilih bekerja sebagai pengasuh anak.
Justru dari rumah tempat ia bekerja, jalan terang mulai terbuka. Majikannya mendengar keluh kesahnya, mendampingi, dan akhirnya mengajaknya berkonsultasi pada dokter. Dari sinilah kebenaran perlahan terkuak.
Di ruang praktik seorang dokter kandungan perempuan, ia diperiksa dengan hati-hati. Tidak ada vagina, hanya dua tonjolan kecil di lipatan paha.
Dari lubang kecil dekat anus, ia berkata selama ini air seni merembes. Sang dokter pun memastikan: secara biologis, semua tanda mengarah bahwa ia seorang laki-laki. Benjolan di lipatan paha itu adalah testis.
Rujukan demi rujukan dilakukan. Dengan kartu BPJS Penerima Bantuan Iuran, ia menempuh perjalanan panjang hingga ke Surabaya.
Pemeriksaan kromosom, operasi bertahap, pendampingan psikiater, semua dijalani. Hingga akhirnya, ia menjalani sidang pengadilan untuk mengubah status hukumnya. Dari perempuan, resmi menjadi laki-laki.
Janji kecil yang dulu ia ucapkan kepada dirinya sendiri pun ditepati. Rambut panjangnya dipotong di tukang cukur, jilbab dilepas, identitas barunya dirangkul.
Pertemuan yang mengharukan terjadi beberapa tahun kemudian. Saat kontrol kesehatan, ia berjumpa kembali dengan dr. Riza Mazidu Sholihin, Sp.U., dokter PPDS yang dulu ikut menangani kasusnya ketika masih bersekolah spesialis. Pertemuan itu serupa reuni. Dunia terasa sempit, rasa persaudaraan terasa erat.
Kisah serupa sebenarnya pernah menjadi sorotan publik. Seorang atlet voli perempuan yang juga berstatus prajurit TNI, membuat heboh jagat olahraga nasional.
Setelah serangkaian pemeriksaan medis, statusnya ditetapkan: ia sebenarnya laki-laki. Peristiwa itu memantik diskusi luas tentang identitas gender, sistem pemeriksaan, hingga sensitivitas publik dalam menyikapi persoalan yang menyentuh sisi personal manusia.
Pesan dr. Mazidu sederhana namun sarat makna: identifikasi jenis kelamin bayi saat lahir adalah keputusan vital.
"Jika ada keraguan, jangan ditebak-tebak. Segera rujuk pada ahlinya. Sebab kesalahan dalam identifikasi di hari pertama kehidupan, bisa mengubah seluruh jalan hidup seorang anak," ujarnya.
Kisah dari Ponorogo maupun dari lapangan voli itu menunjukkan bahwa fenomena ini bukan peristiwa langka. Ia bisa menimpa siapa saja, dari anak desa hingga atlet nasional.
Dari pengalaman itu, ada satu pelajaran penting: terbuka, mencari pertolongan ahli, dan berani menghadapi kenyataan adalah jalan menuju keutuhan diri.
Tulisan ini bukan sekadar kisah personal, tetapi juga cermin. Cermin betapa rapuhnya hidup manusia di hadapan takdir biologis, namun juga betapa kuatnya ketika ia memilih berdamai dengan kenyataan. Dari Ponorogo hingga gelanggang olahraga, kita belajar: identitas bisa ditemukan, diterima, dan dirayakan.
Penulis: Nanang Diyanto
Editor: Redaksi
Sebelumnya
...
Berikutnya
...