-->
bWJ4VIvabJt7GuIhCGKP0i6PjNDtbsjBe315cFMJ
Bookmark
PROMOSIKAN BISNIS ANDA DISINI - HUBUNGI: +62 856-5561-5145

Dari Reog Harian hingga Monumen Terhenti: Atika Soroti Masa Depan Kebudayaan Ponorogo

Suasana sosialisasi pelestarian Reog Ponorogo yang dihadiri anggota DPRD, seniman, dan tokoh masyarakat di Gedung Pancasila Cokromenggalan. (Foto: doc. Gardajatim.com)
GARDAJATIM.COM:
Upaya merawat tradisi Reog kembali mengemuka dalam gelaran sosialisasi bertema “Menjaga dan Melestarikan Tradisi Reog Ponorogo melalui Penguatan Pariwisata” di Gedung Pancasila Cokromenggalan, Kamis, 27 November 2025.

Di hadapan para seniman, Anggota Komisi D DPRD Provinsi Jawa Timur dari Dapil IX, Hj. Atika Banowati, S.H., memotret berbagai persoalan yang membayangi keberlanjutan kebudayaan Ponorogo hari ini.

Acara tersebut juga dihadiri Anggota DPRD Ponorogo dari Fraksi Golkar, Eko Priyo Utomo, Moh. Komarudin, Muryanto (Beru), perwakilan Yayasan Reog Ponorogo, serta para seniman-seniwati dari berbagai sanggar.

Suasananya cair, namun diskusinya serius: bagaimana memastikan Reog tetap hidup, relevan, dan menyejahterakan para pelakunya.

Eko Priyo membuka kekhawatiran soal situasi fiskal pemerintah yang menipis. Dalam kondisi seperti itu, katanya, kreativitas menjadi jalan keluar yang tak terhindarkan.

“Semoga ide-ide kreatif muncul di tengah kondisi keuangan seperti ini,” ujar Eko.

Nada serupa disampaikan Atika. Namun ia melangkah lebih jauh: Reog tidak cukup sekadar dijaga, ia harus hidup, hadir, dan menghasilkan dampak ekonomi.

Atika mencontohkan Bali, yang setiap hari menghadirkan pertunjukan tari untuk wisatawan. Ia membayangkan Ponorogo mengambil arah serupa.

“Reog ini seharusnya bisa tampil setiap hari. Dengan begitu, para seniman juga bisa sejahtera,” tutur Atika.
Sorotan lain muncul dari salah satu narasumber, Dedy Satia Amijaya dari Sanggar Tari Langen Kusuma.

Dalam paparannya tentang Ekosistem Keberlanjutan Reog Ponorogo Kini dan Masa Depan, ia mengingatkan pentingnya informasi yang berimbang bagi masyarakat pasca pengakuan Reog sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO.

“Sustainability itu harus dipahami secara utuh, mulai pelatihan generasi penerus, sertifikasi seniman, hingga legalitas,” kata Dedy.

Ia juga menyinggung rumitnya persoalan bahan baku properti Reog yang sebagian masih berasal dari satwa dilindungi.

“Kita tahu bersama, ada bahan-bahan yang diatur dalam UU Konservasi. Ini perlu solusi bersama, apalagi setelah pengakuan UNESCO," ungkapnya.

Di luar persoalan teknis seni, perbincangan menyentuh satu isu lain yang tak kalah sensitif: masa depan Monumen Reog, ikon baru Ponorogo yang terseret sorotan publik usai OTT Bupati Ponorogo nonaktif Sugiri Sancoko oleh KPKSaat disinggung mengenai proyek tersebut, Atika memilih berbicara lugas.

“Terlepas dari permasalahan apa pun, Monumen Reog adalah kebanggaan kita. Sebagai putra daerah sekaligus wakil rakyat, saya berharap proyek ini tetap berlanjut dan membawa manfaat bagi masyarakat,” ujarnya.

Pernyataan itu menutup diskusi dengan satu pesan: Ponorogo membutuhkan keberanian mengambil langkah-langkah baru.

Dari pertunjukan Reog harian hingga melanjutkan ikon budaya yang terhenti, masa depan kebudayaan daerah ini, menurut Atika, tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa arah.

“Seni tidak hanya harus dilestarikan, tapi juga harus menyejahterakan," tutupnya. (Fjr)
Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar