Musim Penghujan Membawa Berkah Bagi Para Pandai Besi di Pacitan, Ini Alasannya!
Mbah Parnen (67) warga Dusun Krajan, Desa Sanggrahan, Kecamatan Kebonagung, Pacitan tengah melakukan penempaan cangkul milik warga. (FOTO :Eko Purnomo/gardajatim).
GARDAJATIM.COM: Musim penghujan adalah musim yang ditunggu-tunggu oleh sebagaian besar petani di Kabupaten Pacitan. Hal ini karena pada musim hujan petani bisa menggarap sawah untuk ditanami padi.
Datangnya musim hujan juga tak melulu identik dengan hal yang kurang baik, seperti bencana tanah longsor, banjir ataupun penyakit demam berdarah.
Bagi sebagian orang, musim penghujan bisa dikatakan musim yang membawa berkah. Salah satunya bagi para pengrajin pandai besi.
Datangnya musim hujan, membuat para pandai besi atau empu di Kabupaten Pacitan banyak yang kebanjiran orderan. Baik yang hanya memperbaiki alat maupun yang memesan pembuatan alat yang baru.
Fenomena ini disebabkan karena pada musim penghujan para petani membutuhkan alat terutama cangkul untuk proses menggarap sawahnya. Sehingga permintaan jasa perbaikan semakin meningkat.
Parnen (67) warga Dusun Krajan, Desa Sanggrahan, Kecamatan Kebonagung yang menjadi salah satu pandai besi di Pacitan mengatakan, saat datang musim penghujan ia mampu mengerjakan perbaikan alat-alat 30 hingga 50 setiap harinya.
"Ya tidak mesti, kadang sehari tiga orang empat orang begitu. Alat yang dibawa kesini rata-rata cangkul, sabit dan golok, kadang tetangganya nitip sekalian. Jadi satu orang kadang membawa 10-20 alat, " ujar Parnen saat ditemui di tempat penempaan besinya, Kamis (21/11/2025).
Ia mengaku sudah menekuni usaha pandai besi ini sejak puluhan tahun lalu. Bahkan ia beserta para saudara-saudaranya mulai kecil sudah tak asing dengan dunia tersebut.
Hal itu dikarenakan usaha tersebut diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
"Mande itu kurang lebih sudah 50an tahun, karena dari kecil memang sudah di ajarkan oleh mendiang orang tua. Jadi semua saudara yang laki-laki itu bisa mande semua," cerita Parnen sambil melakukan pekerjaanya.
Parnen menjelaskan, hal yang paling sulit dalam dunia penempaan besi atau pandai besi adalah saat melakukan penyepuhan dan mijar (penggabungan beberapa besi menjadi satu).
Teknik penyepuhan adalah proses pembakaran besi dengan tingkat kemerahan tertentu yang kemudian di masukkan kedalam media seperti air agar menghasilkan ketajaman yang diinginkan.
"Yang perlu diperhatikan saat penyepuhan adalah tingkat kemerahan besi dan cara memasukkan kedalam air. Kalau asal, besi bisa retak atau patah dan ketajaman kurang maksimal," jelasnya.
Hadirnya teknologi seperti mesin blower dan gerinda menurut Parnen sangat membantu pekerjaanya.
"Kalau jaman dulu itu manual pakai ubup (pipa terbuat dari kayu) untuk membuat bara api sekarang sudah pakai blower. Untuk proses penghalusan dulu pakai kikir dan batu asah, sekarang lebih mudah ada mesin gerinda," imbuhnya.
Untuk urusan tarif, Parnen tak mematok harga. Masyarakat bisa memberikan seikhlasnya, namun biasanya upah yang diberikan adalah sebesar Rp 10.000 per satu alatnya.
Sementara untuk biaya pembuatan alat seperti cangkul, sabit hingga keris harganya bervariasi. Untuk satu cangkul bahan dari pengrajin harganya berkisar Rp 200an ribu.
Namun untuk pembuatan alat seperti keris harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Hal itu karena dalam satu keris dengan pamor atau motif memerlukan bahan besi yang banyak dan proses yang panjang.
"Tarifnya ya seikhlasnya saja. Rata-rata kalau hanya memperbaiki, mereka memberikan 5-10 ribu untuk satu alat,"pungkasnya.



