-->
bWJ4VIvabJt7GuIhCGKP0i6PjNDtbsjBe315cFMJ
Bookmark
PROMOSIKAN BISNIS ANDA DISINI - HUBUNGI: +62 856-5561-5145

Pasca Reog Masuk UNESCO, Pakar Budaya Ingatkan Pentingnya Regulasi dan Perlindungan Seniman

Muhammad Masrovicky Maulana, M.Ag., saat menjadi narasumber kegiatan sosialisasi bersama Hj. Atika Banowati, S.H.
GARDAJATIM.COM:
Pasca penetapan Reog Ponorogo sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO, berbagai pihak mulai menyoroti urgensi penguatan regulasi dan perlindungan bagi para pelaku seni.

Hal tersebut disampaikan oleh Muhammad Masrovicky Maulana, M.Ag., pakar seni budaya dari Karang Taruna Ponorogo, usai menjadi narasumber dalam kegiatan sosialisasi pelestarian Reog di Padepokan Tari Langen Kusuma, Rabu (26/11/2025).

Masrovicky menegaskan bahwa ada tiga isu utama yang harus segera ditangani untuk memastikan keberlanjutan Reog Ponorogo.

Pertama adalah inventarisasi data pelaku seni, yang hingga kini belum memiliki basis data tunggal.

“Kita tidak punya data statistik yang jelas. Berapa jumlah pembarong, jathil, bujangganong, semua belum terpetakan. Ini masalah dasar yang harus segera dibenahi,” tegasnya.

Kedua, ia menyoroti minimnya apresiasi dan perlindungan terhadap pelaku seni, yang menurutnya sering kali tidak mendapatkan perhatian memadai meski menjadi garda terdepan pelestarian budaya.

“Jangan sampai pelaku seni menjadi seperti tikus mati di lumbung padi. Reog sudah mendunia, tetapi mereka yang menjaga seni ini masih banyak yang belum diperhatikan. Pemerintah harus hadir,” ujarnya.

Isu ketiga berkaitan dengan ketersediaan bahan baku Reog, terutama bulu merak untuk pembuatan dadak.

“Hingga hari ini tidak ada bulu merak sintetis. Di Ponorogo hanya ada tiga penangkaran merak dan jumlahnya jauh dari cukup. Jika dibiarkan, keberlanjutan Reog bisa terganggu,” jelasnya.



Masrovicky juga menyinggung opsi penggunaan bulu merak biru sebagai alternatif, namun menekankan bahwa penggunaan merak hijau tetap memerlukan regulasi ketat.

“Sampai sekarang belum ada peraturan bupati maupun peraturan daerah yang mengatur bahan baku Reog. Jika ingin mempertahankan kualitas aslinya, pemerintah harus segera menyusun regulasi,” imbuhnya.

Ia mengingatkan bahwa ketiga isu tersebut hanya dapat diselesaikan melalui sinergi lintas sektor, mulai dari pemerintah daerah, komunitas seni, lembaga pendidikan, hingga tingkat desa.

“Jika sinergitas itu terbangun, pelestarian Reog akan berjalan lebih efektif. Tinggal keseriusan pemerintah dalam menindaklanjuti,” tambahnya.

Di akhir penyampaian, Masrovicky berharap pelestarian Reog tidak hanya berhenti pada simbol dan pertunjukan, tetapi juga menyentuh peningkatan kualitas sumber daya manusia yang menghidupi tradisi tersebut.

“Reog harus lestari secara utuh, bukan hanya dari sisi simbolik. Nilai-nilainya harus terwujud dalam kehidupan dan para pelakunya harus diperkuat,” tutupnya.

Berita ini menegaskan bahwa pengakuan UNESCO bukan titik akhir, melainkan awal dari pekerjaan besar untuk memastikan Reog Ponorogo tetap hidup dan berkembang di masa mendatang. (Fjr)
Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar