Raja Surakarta SISKS Pakoe Boewono XIII Mangkat, Duka Menyelimuti Tanah Jawa
![]() |
| CEO Garda Jatim, Fajar Setiawan saat mendapatkan gelar dari PB XIII langsung didampingi oleh Permaisuri Dalem. (Foto: Arsip) |
Kepergian beliau pada usia 77 tahun meninggalkan kesedihan mendalam bagi keluarga besar keraton dan seluruh masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi warisan budaya leluhur.
Dilansir Taboo.id, kabar berpulangnya sang raja pertama kali disampaikan oleh salah satu kerabat dalem Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
“Berita duka, Sinuhun seda,” tulis kerabat dalem yang identitasnya minta disamarkan.
Tak lama berselang, kabar tersebut dikonfirmasi oleh R.Ay. Febri Hapsari Dipokusumo, istri dari adik PB XIII, KGPH Dipokusumo.
“Injih, nyuwun doanya,” ujarnya singkat melalui pesan WhatsApp.
Kepastian wafatnya Sinuhun juga disampaikan oleh kerabat keraton, KPH Dani Nur Adiningrat.
“Nyuwun pandonganipun sedoyo,” tulisnya, kalimat singkat yang menggambarkan duka mendalam atas kepergian sang penjaga marwah budaya Jawa itu.
Kraton Surakarta pagi itu seolah berhenti berdetak. Suasana haru menyelimuti dinding-dinding keraton yang menjadi saksi peradaban panjang Mataram.
Jenazah almarhum, yang lahir dengan nama KGPA Suryo Partono pada 28 Juni 1948, akan disemayamkan di Kraton Surakarta sebelum dimakamkan di Pajimatan Imogiri, Bantul, kompleks pemakaman raja-raja Mataram.
Kepergian Pakoe Boewono XIII bukan hanya kehilangan bagi keluarga keraton, tetapi juga bagi siapa pun yang percaya bahwa budaya adalah napas bangsa.
Di bawah kepemimpinannya sejak awal 2000-an, Surakarta tetap menjadi mercusuar budaya, tempat di mana adat dan zaman berpelukan dalam harmoni.
Dalam catatan sejarah, Sinuhun PB XIII dikenal sebagai sosok yang tenang, bijak, dan teguh menjaga eksistensi keraton di tengah dinamika internal yang panjang.
Ia kerap hadir dalam berbagai agenda budaya dan kebangsaan, menegaskan peran kraton sebagai penjaga nilai-nilai luhur Jawa di era modern.
Kini, duka itu menjalar ke seluruh penjuru Nusantara. Sebab setiap raja yang berpulang, sejatinya bangsa ini kehilangan sepotong jiwanya sendiri.
Dan saat prosesi adat nanti digelar, barangkali air mata akan menjadi bahasa paling jujur untuk mengiringi kepergian sang raja penjaga warisan budaya Jawa. (Fjr/Red)
