Demi “Perkasa”, Pasien Jalani Perawatan Urologi Akibat Injeksi Minyak Kemiri
Garda Jatim
... menit baca
![]() |
| dr. Riza Mazidu Sholihin, Sp.U bersama Team RSUD Dr. Harjono Ponorogo melakukan operasi. (Foto: Nanang Diyanto) |
Dalam dua bulan terakhir, tercatat dua pasien dengan keluhan serupa, keduanya berasal dari luar Pulau Jawa dan datang dengan kondisi yang sudah parah.
Kasus terbaru dialami pria berusia 35 tahun yang mengaku telah menyuntikkan minyak kemiri ke penisnya sekitar empat tahun lalu.
Tindakan tersebut dilakukan di sekitar tempat kerjanya dengan tujuan memperbesar ukuran penis demi meningkatkan rasa percaya diri dan kepuasan pasangan.
Pada satu hingga dua bulan awal setelah penyuntikan, pasien mengaku tidak merasakan keluhan berarti. Diameter penis tampak membesar dan terasa keras.
Namun kondisi tersebut bukan disebabkan oleh ereksi, melainkan akibat minyak yang terperangkap di bawah kulit dan memicu reaksi jaringan tubuh.
Seiring waktu, keluhan mulai muncul. Pasien mengalami nyeri hebat, pembengkakan, serta pembentukan abses.
Kondisi ini menyebabkan rasa sakit berkepanjangan dan membuat pasien tidak mampu melakukan hubungan intim.
Gangguan tidak hanya terjadi pada fungsi seksual. Perubahan jaringan juga menekan saluran kencing, sehingga aliran urin menjadi tersendat.
Penanganan awal dilakukan dengan pemasangan kateter, namun kondisi terus memburuk hingga pasien akhirnya dirujuk ke RSUD dr Harjono Ponorogo.
Penanganan dilakukan oleh dokter spesialis urologi RSUD dr Harjono, dr Riza Mazidu Sholihin, SpU.
Ia menjelaskan bahwa praktik penyuntikan bahan asing pada penis sangat berbahaya dan berisiko menimbulkan kerusakan permanen.
“Bahan seperti minyak kemiri, silikon, atau parafin tidak bisa diserap tubuh. Yang terjadi justru reaksi peradangan kronis, pembengkakan, nyeri, hingga kerusakan jaringan. Dalam banyak kasus, satu-satunya jalan adalah operasi, dan hasilnya tidak selalu bisa kembali normal,” ujar dr Mazidu, Jumat (19/12/2025).
Menurutnya, pasien tersebut masih memiliki peluang penyelamatan fungsi organ. Namun, kondisi tersebut tetap memerlukan tindakan bedah dengan risiko tertentu.
“Pasien ini masih tergolong beruntung karena jaringan belum mati seluruhnya. Pada kasus yang lebih berat, kami pernah menangani pasien yang harus menjalani amputasi karena saluran kencing sudah tidak bisa dipertahankan,” katanya.
Untuk menangani kasus tersebut, tim medis merencanakan tindakan operasi degloving, yakni pengangkatan jaringan kulit penis bagian tengah yang telah rusak akibat reaksi peradangan.
![]() |
| Proses pengangkatan kulit penis bagian tengah yang sudah rusak dan tidak dapat dipertahankan, dengan mempertahankan kulit di bagian ujung dan pangkal. |
Kulit di bagian ujung dan pangkal dipertahankan untuk kemudian dirapatkan kembali guna memulihkan aliran darah dan fungsi saluran kencing.
Namun demikian, dr Mazidu menegaskan bahwa prosedur ini memiliki konsekuensi, salah satunya kemungkinan berkurangnya panjang penis akibat jaringan yang harus dibuang.
Pada kondisi tertentu, pasien juga dapat menjalani cangkok kulit dari bagian tubuh lain, seperti paha atau perut, sebagai bagian dari proses rekonstruksi bertahap.
Ia menambahkan, kasus serupa bukan hal langka dalam praktik urologi. Di berbagai daerah, ditemukan praktik pemasangan atau penyuntikan benda asing seperti silikon cair, parafin, minyak nabati, hingga benda padat seperti gotri, kawat gelang, kelereng, dan ijuk.
![]() |
| Ilustrasi suntik penis perkasa jadi petaka. |
Sejumlah literatur medis mencatat bahwa praktik tersebut dapat menyebabkan infeksi berulang, gangguan berkemih, disfungsi seksual permanen, hingga kematian jaringan.
Dalam banyak kasus, pembedahan menjadi satu-satunya pilihan penanganan.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi masyarakat agar tidak mudah tergiur praktik nonmedis yang menjanjikan pembesaran organ secara instan, karena risiko kesehatan yang ditimbulkan jauh lebih besar dan dapat berdampak jangka panjang.
Penulis: Nanang Diyanto
Editor : Redaksi
Sebelumnya
...
Berikutnya
...


