Jawa Timur, Gardajatim.com - Dunia maya menjadi tempat yang semakin banyak digunakan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan, seperti belajar, bekerja, berkomunikasi, hingga bersenang-senang.
Namun, di balik kemudahan dan keuntungan yang ditawarkan, dunia maya juga menyimpan berbagai ancaman dan bahaya, salah satunya adalah kekerasan seksual.
Kekerasan seksual di dunia maya adalah bentuk tindakan yang melanggar hak asasi manusia, khususnya hak atas kebebasan dan keamanan seksual, yang dilakukan melalui media elektronik, seperti internet, telepon genggam, atau komputer.
Kekerasan seksual di dunia maya dapat menimpa siapa saja, tanpa memandang usia, jenis kelamin, latar belakang, atau status sosial.
Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), ada tiga bentuk kekerasan seksual di dunia maya yang sering terjadi, yaitu grooming, sexting, dan online sexual exploitation.
Apa itu grooming, sexting, dan online sexual exploitation? Berikut penjelasannya.
Grooming
Grooming adalah modus pelecehan seksual yang membuat korban akrab dengan pelaku dan berujung korban dieksploitasi atau dimanipulasi.
Pelaku grooming biasanya menggunakan media sosial, aplikasi chatting, atau game online untuk mendekati korban, terutama anak-anak dan remaja, dengan cara memberikan perhatian, pujian, hadiah, atau janji-janji manis.
Setelah merasa dekat dan percaya, pelaku grooming akan meminta korban untuk melakukan hal-hal yang berbau seksual, seperti mengirimkan foto atau video bugil, melakukan video call vulgar, atau bertemu langsung untuk berhubungan seksual.
Jika korban menolak atau melawan, pelaku grooming akan mengancam untuk menyebarkan foto atau video korban yang telah ia simpan, atau melakukan kekerasan fisik.
Sexting
Sexting adalah menerima dan mengirimkan pesan, foto, dan video yang berbau seksual. Sexting dapat dilakukan secara sukarela atau paksaan.
Sexting yang dilakukan secara sukarela biasanya terjadi antara pasangan yang saling percaya dan setuju untuk berbagi konten seksual.
Namun, sexting yang dilakukan secara sukarela juga berisiko menjadi bumerang jika hubungan tersebut berakhir dan salah satu pihak memanfaatkan konten seksual tersebut untuk memeras, membalas dendam, atau menyakiti mantan pasangannya.
Sexting yang dilakukan secara paksaan biasanya terjadi karena adanya tekanan, intimidasi, atau manipulasi dari pelaku.
Pelaku sexting yang memaksa dapat berupa orang yang dikenal korban, seperti pacar, teman, atau keluarga, atau orang yang tidak dikenal korban, seperti orang asing yang mengaku sebagai teman, selebriti, atau orang berpengaruh.
Pelaku sexting yang memaksa akan meminta korban untuk mengirimkan konten seksual dengan berbagai alasan, seperti cinta, persahabatan, uang, atau ancaman.
Online sexual exploitation
Online sexual exploitation adalah membujuk untuk berfoto dan membuat video vulgar dengan atau tanpa imbalan. Online sexual exploitation dapat dilakukan oleh individu atau kelompok yang memanfaatkan korban untuk mendapatkan keuntungan finansial atau seksual.
Pelaku online sexual exploitation biasanya menggunakan media sosial, aplikasi chatting, atau situs web tertentu untuk mencari korban, terutama anak-anak dan remaja, yang rentan terhadap godaan, rayuan, atau ancaman.
Setelah mendapatkan konten seksual dari korban, pelaku online sexual exploitation akan menjual, menyebarkan, atau menayangkan konten tersebut kepada orang lain, baik secara online maupun offline, tanpa sepengetahuan atau persetujuan korban.
Korban online sexual exploitation dapat mengalami kerugian materi, psikologis, sosial, atau fisik akibat tindakan pelaku. (*/red)
Posting Komentar