Batu Ginjal dan Gagal Ginjal Ancam Generasi Produktif Indonesia

Redaksi
... menit baca
![]() |
dr. Riza Mazidu Sholikin saat melakukan tindakan operasi pengambilan batu saluran kemih. (Foto: Istimewa) |
Di kursi tunggu, seorang pria paruh baya menggenggam pinggangnya dengan raut menahan sakit.
“Ini sudah ketiga kalinya saya masuk rumah sakit karena batu ginjal, Dok,” ujarnya lirih.
Di balik meja kerjanya, dr. Riza Mazidu Sholikin, yang akrab disapa dr. Zidu, menghela napas. Pemandangan ini, menurutnya, bukan lagi cerita yang jarang terjadi.
“Dulu, pasien dengan batu ginjal atau gagal ginjal kebanyakan datang di usia 50 tahun ke atas,” katanya, Senin (9/9/2025).
“Sekarang, pasien muda, usia 30-an, bahkan awal 20-an, mulai berdatangan. Dan jumlahnya, percaya atau tidak, semakin banyak setiap tahun," imbuhnya.
Fenomena ini bukan sekadar kesan pribadi seorang dokter. Data yang dirilis Kementerian Kesehatan dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menunjukkan lonjakan kasus yang mengkhawatirkan.
Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi penyakit ginjal kronis (PGK) yang terdiagnosis oleh dokter berada di angka 0,38 persen atau sekitar 3,8 per seribu penduduk.
Angka ini melonjak hampir dua kali lipat dibanding Riskesdas 2013 yang hanya mencatat 0,2 persen.
Proyeksi dari BPJS Kesehatan tahun 2024 pun semakin menegaskan kegentingan ini: 134.057 pasien tercatat menjalani hemodialisa atau cuci darah, dengan beban biaya yang menembus Rp 11 triliun hanya untuk penanganan gagal ginjal.
Di sisi lain, prevalensi batu ginjal di Indonesia diperkirakan mencapai 6 per 1.000 penduduk, atau sekitar 1,5 juta orang.
Penelitian terbaru juga menemukan bahwa penderita terbanyak berada di rentang usia produktif, 30 hingga 60 tahun, usia yang seharusnya paling aktif berkarya.
“Data ini menyadarkan kita bahwa masalah ginjal bukan hal kecil. Di ruang praktik saya, pasien muda semakin banyak. Kadang mereka bahkan tidak tahu bahwa gaya hidup sehari-hari menjadi pemicu utama kondisi ini," tuturnya.
Menurutnya, akar persoalan ini jelas. Dalam ritme hidup modern, kebiasaan sederhana seperti minum air putih yang cukup sering diabaikan.
“Orang bekerja seharian di kantor, jarang minum, lalu urine menjadi pekat. Dari situ, kristal kecil terbentuk dan lambat laun menjadi batu ginjal,” jelasnya.
Selain dehidrasi, pola makan juga menjadi faktor besar. Makanan cepat saji, camilan tinggi garam, dan konsumsi protein hewani berlebihan membuat kerja ginjal semakin berat.
Ditambah lagi, meningkatnya kasus obesitas, diabetes, dan hipertensi di Indonesia menjadi kombinasi berbahaya yang mempercepat kerusakan ginjal.
“Obesitas membuat metabolisme kacau, diabetes merusak pembuluh darah kecil di ginjal, dan tekanan darah tinggi memperparah kerusakan. Kombinasi ini sering kali berujung pada gagal ginjal kronis yang tidak bisa disembuhkan, hanya bisa dikontrol,” tegasnya.
Yang membuat masalah semakin kompleks adalah minimnya kesadaran masyarakat terhadap gejala awal. Banyak pasien datang saat kondisi sudah parah.
“Nyeri pinggang ringan atau rasa tidak nyaman saat buang air kecil sering dianggap pegal biasa. Padahal, jika diperiksa sejak dini, pengobatan bisa lebih sederhana dan kerusakan ginjal bisa dicegah," tegasnya.
Cerita serupa juga terjadi pada pasien gagal ginjal kronis. Gejalanya kerap samar, kelelahan berkepanjangan, mual tanpa sebab, atau pembengkakan pada mata dan kaki, sehingga dianggap sebagai kelelahan biasa.
“Ketika akhirnya datang ke dokter, kerusakan ginjalnya sudah mencapai tahap lanjut. Itulah yang membuat penanganannya lebih sulit dan biayanya sangat besar,” ungkapnya.
Namun, di balik fakta yang terasa mengkhawatirkan, dr. Zidu tetap menekankan bahwa langkah pencegahan jauh lebih mudah dan murah dibanding pengobatan. Ia mengibaratkan kesehatan ginjal sebagai investasi.
“Minum cukup air setiap hari adalah langkah paling sederhana, tapi paling sering diabaikan. Minimal delapan hingga sepuluh gelas sehari, terutama untuk yang banyak beraktivitas,” ujarnya sambil tersenyum.
Ia juga mengajak masyarakat untuk mengurangi konsumsi garam dan makanan olahan, menggantinya dengan makanan segar yang kaya sayur dan buah.
Kesadaran untuk melakukan pemeriksaan kesehatan rutin juga menjadi kunci, terutama bagi mereka yang memiliki riwayat hipertensi, diabetes, atau keluarga dengan penyakit ginjal.
“Jangan tunggu sakit. Justru ketika merasa sehat, di situlah waktu terbaik untuk mengecek kesehatan tubuh,” tegasnya.
Siang itu, ketika ruang praktiknya kembali dipenuhi pasien dengan beragam keluhan, dr. Zidu menatap keluar jendela, melihat kota yang tak pernah benar-benar berhenti bergerak.
Di tengah hiruk pikuk itu, ia berharap kesadaran akan pentingnya menjaga ginjal mulai tumbuh.
Bahwa orang-orang memahami, kesehatan bukan hanya tentang mengobati ketika sakit, tetapi tentang menjaga keseimbangan sejak dini.
“Kalau bisa mencegah, kenapa harus menunggu sakit dulu?” ucapnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri, namun sesungguhnya pada kita semua.
Penulis: Nanang Diyanto/ LKNU Ponorogo
Editor: Redaksi
Sebelumnya
...
Berikutnya
...