-->
bWJ4VIvabJt7GuIhCGKP0i6PjNDtbsjBe315cFMJ
Bookmark
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE-80 TAHUN - PROMOSIKAN BISNIS ANDA DISINI - HUBUNGI: 0821 3105 7771

Menguak Misteri Sangklir: Dari Stigma ke Solusi Medis

dr. Riza Mazidu Sholihin, Sp.U melakukan operasi Orchidopeksi pada Tono. (Foto: doc. Pribadi)
GARDAJATIM.COM
: Di ruang tunggu sebuah poliklinik urologi, Tono (32) tampak gelisah. Wajahnya berulang kali menoleh ke arah pintu, tangannya meremas jemari sendiri.

Ia tidak sedang menunggu hasil darah, bukan pula menunggu jadwal operasi besar. Yang ia hadapi adalah sesuatu yang sejak lama disimpannya rapat-rapat: ia hanya memiliki satu testis.

Dalam bahasa Jawa, kondisi itu kerap disebut sangklir. Sebuah istilah yang diucapkan dengan nada bercanda dalam obrolan warung kopi, tapi bagi Tono, bukanlah bahan lelucon.

“Awalnya saya pikir hernia,” katanya pelan, “karena sering nyeri kalau kerja berat atau capek," ujarnya.

Ia bekerja sebagai kuli bangunan, terbiasa mengangkat material, naik turun rangka besi, dan membanting tenaga. Rasa nyeri di lipatan paha makin terasa setelah ia menikah dua bulan lalu.

“Sakit saat berhubungan, sering terasa sakit,” ia menambahkan, matanya menerawang.

Kebingungan kian menjadi: harus ke dokter bedah atau dokter urologi? Hingga akhirnya ia memilih datang ke poliklinik urologi tempat dr. Riza Mazidu Sholikin, Sp.U., praktik.

Misteri di Lipatan Paha

Saat pemeriksaan, dokter hanya menemukan satu testis di dalam skrotum Tono. Sebuah benjolan kecil terasa di lipatan paha bagian dalam.

Untuk memastikan, dilakukan ultrasonografi (USG). Dari situlah jelas terlihat: testis kanan Tono tidak pernah turun ke skrotum.

Ia tersangkut di lipatan paha, suatu kondisi medis yang dikenal sebagai kriptorkidisme atau undescended testis.

“Ini bukan hernia, bukan pula pembengkakan kelenjar. Testisnya memang tidak turun,” ujar dr. Riza. Keputusan pun diambil: operasi orchidopeksi.

Lebih dari Sekadar Estetika

Bagi sebagian orang, mungkin terdengar sederhana, turunkan saja testis ke kantongnya. Namun, keputusan medis itu jauh lebih dari sekadar memperbaiki penampilan.

“Tujuan utama adalah mengembalikan posisi testis ke skrotum, menjaga fungsi reproduksi, dan menurunkan risiko kanker testis,” jelas dr. Riza.

Risiko keganasan memang tidak bisa dihapus total, tapi dengan testis berada di skrotum, peluang deteksi dini lebih besar. 

Selain itu, suhu di skrotum lebih rendah dibandingkan rongga perut atau lipatan paha, kondisi yang ideal untuk pembentukan sperma.

Bagi Tono, penjelasan itu seperti membuka tabir masa depan. “Saya ingin punya anak,” katanya lirih.

Mengapa Harus Dini?

Kasus Tono sesungguhnya bisa dicegah jika terdeteksi sejak kecil. Normalnya, testis bayi laki-laki sudah turun ke skrotum sejak lahir atau beberapa bulan setelahnya. Bila belum turun hingga usia 6–12 bulan, operasi sudah dianjurkan.

“Semakin cepat dilakukan, semakin baik fungsi spermatogenesis,” kata dr. Riza. 

Idealnya, operasi dilakukan pada usia 6–18 bulan. Sayangnya, banyak orang tua tidak menyadari.

Di Jawa, istilah sangklir kadang dianggap nasib, bukan masalah medis. Padahal, akibatnya tidak ringan: nyeri, gangguan kesuburan, hingga potensi kanker.

Antara Stigma dan Harapan

Bagi Tono, beban terberat bukan hanya rasa nyeri fisik. Ia juga memikirkan stigma sosial. Bagaimana jika orang tahu ia hanya punya satu testis? Bagaimana jika istrinya kecewa?

Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui. Namun, di balik rasa takutnya, terselip harapan.

“Kalau operasi bisa bantu saya punya anak, saya siap,” ucapnya.

Sementara itu, dr. Riza menitipkan pesan sederhana: orang tua harus berani memeriksa anak laki-lakinya sejak dini. 

“Pastikan semua perangkat kelamin lengkap. Kalau ada yang tidak wajar, segera bawa ke dokter. Jangan menunggu sampai dewasa," ujarnya.

Di ruang tunggu itu, Tono kembali meremas jemarinya. Kali ini bukan karena cemas, melainkan berusaha meneguhkan hati. 

Sangklir bukan lagi rahasia yang harus ditutup-tutupi. Ia kini tahu ada jalan untuk memperbaikinya.

Bagi Tono, operasi itu bukan sekadar tindakan medis, melainkan juga peluang untuk masa depan—masa depan sebagai seorang suami, dan mungkin, sebagai seorang ayah.



Penulis: Nanang Diyanto/ LKNU Ponorogo
Editor: Redaksi
Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar