Bukan Soal Sumber Daya, tapi Disiplin: Pelajaran Ekonomi Korea Selatan bagi Indonesia
Redaksi
... menit baca
![]() |
| Ilustrasi Kawasan industri nasional. (Foto: doc. Gardajatim.com) |
GARDAJATIM.COM: Korea Selatan kerap disebut sebagai negara kecil dengan sumber daya alam terbatas. Namun, keterbatasan itu justru melahirkan satu keunggulan utama: disiplin pada aturan.
Di negeri ini, regulasi bukan sekadar teks hukum, melainkan kesepakatan kolektif yang ditaati bersama.
Pelanggaran bukan hanya soal sanksi, tetapi juga soal rasa malu dan tanggung jawab sosial. Disiplin itu tercermin jelas dalam tata kelola ekonominya.
Dalam satu kawasan atau kompleks industri, berdiri berbagai perusahaan dengan jenis produksi yang berbeda.
Namun, perbedaan itu tidak berjalan sendiri-sendiri. Satu pabrik selalu berkaitan dengan pabrik lain saling memasok, saling membutuhkan, dan saling menguatkan.
Rantai produksi dibangun secara sadar, terencana, dan berkesinambungan.
Bayangkan sebuah kecamatan yang memiliki 20 perusahaan. Masing-masing tidak memproduksi barang yang sama.
Ada yang memproduksi bahan baku, ada yang mengolah setengah jadi, ada pula yang menyempurnakan produk akhir.
Jika satu komponen tidak bisa dipenuhi di wilayah itu, maka keterkaitannya tersambung dengan perusahaan di kecamatan lain.
Ekosistem bisnis pun terbentuk, bukan sekadar kumpulan pabrik yang berdiri sendiri. Model ini menciptakan iklim usaha yang sehat.
Persaingan tidak mematikan, melainkan melengkapi. Negara hadir sebagai pengatur arah, bukan sekadar pemberi izin.
Aturan ditegakkan agar tidak ada yang melanggar garis permainan. Inilah fondasi yang membuat industri Korea Selatan mampu bertahan dan berkembang di tengah tekanan global.
Hal lain yang tak kalah menarik adalah soal harga. Di Korea Selatan, harga produk relatif seragam. Satu bungkus rokok, misalnya, dihargai 4.500 won.
Harga itu sama di toko kecil, minimarket, hingga di pusat kota Seoul. Tidak ada permainan harga yang ekstrem. Konsumen tidak dibuat bingung, pedagang tidak saling menjatuhkan.
Keseragaman harga ini bukan berarti mematikan pasar, melainkan menjaga keadilan. Negara mengatur batas dan mekanisme, sementara pelaku usaha fokus pada kualitas, efisiensi, dan inovasi.
Keuntungan dicari bukan dengan memanfaatkan celah aturan, tetapi dengan memperbaiki proses produksi.
Lalu pertanyaannya: mengapa sistem seperti ini sulit tercipta di Indonesia?
Kita memiliki wilayah luas, sumber daya alam melimpah, dan jumlah penduduk besar.
Namun, industri kerap tumbuh tanpa keterkaitan yang jelas. Pabrik berdiri sendiri, saling bersaing dalam produk yang sama, berebut pasar yang terbatas.
Di sisi lain, harga barang bisa berbeda jauh antarwilayah, bahkan dalam satu kota yang sama. Masalahnya bukan semata pada kemampuan, melainkan pada konsistensi.
Aturan sering kali ada, tetapi longgar dalam pengawasan. Penegakan hukum tidak selalu berjalan adil.
Akibatnya, pelaku usaha lebih sibuk mencari jalan pintas daripada membangun kolaborasi jangka panjang.
Korea Selatan memberi pelajaran penting: ekonomi tidak hanya soal angka pertumbuhan, tetapi juga soal tata kelola dan mentalitas.
Tanpa disiplin pada aturan dan visi industri yang saling terhubung, pertumbuhan hanya akan menjadi statistik tanpa daya tahan.
Pertanyaannya kini bukan apakah kita bisa meniru Korea Selatan, melainkan apakah kita berani menegakkan aturan yang kita buat sendiri secara konsisten, adil, dan berkesinambungan.
Oleh: M. Ng. Fajar Setiawan Wartoprasetyo, S.E.
Sebelumnya
...
Berikutnya
...
