Crossline: Punk, Vespa, dan Api Perlawanan dari Ponorogo
![]() |
| Foto Ilustrasi |
Ronny (gitar/vokal), Fajar (bass/vokal), dan Yona (drum) bukan sekadar personel band. Mereka adalah representasi generasi yang tumbuh di tengah transisi sosial-politik pascareformasi. Menyerap pengaruh Ramones, SID, dan Slank, mereka memadukan kemarahan global dengan realitas lokal: pengangguran, kegamangan, dan kota kecil yang tak pernah dianggap peta industri musik.
Di saat banyak band memilih jalan aman, Crossline justru memelihara kultur jalanan. Vespa tua, jaket lusuh, dan nongkrong panjang bersama komunitas Vespa Ponorogo bukan romantisme kosong. Itu adalah cara hidup. Mereka belajar solidaritas dari roda kecil yang terus berputar meski mesin sering mogok.
Ketika Djarum Music Corner menyisir kecamatan-kecamatan dengan format panggung keliling, industri rokok melihat potensi pasar, sementara anak-anak band melihat peluang hidup. Crossline selalu tampil. Di sanalah terjadi negosiasi tak tertulis: antara idealisme dan kebutuhan, antara panggung dan bertahan.
Puncaknya, mereka masuk studio rekaman di Jalan Muria, Ponorogo, dan melahirkan 12 lagu. Lagu “Tahun 98” menjadi kapsul waktu. Ia memadatkan memori kolektif tentang bagaimana generasi itu mengenal kata “perubahan”: lewat gas air mata, teriakan massa, dan harapan yang tak selalu utuh.
Crossline tak pernah menjelma band nasional. Tapi di situlah justru politik bunyinya bekerja. Mereka membuktikan bahwa keberanian tak harus ditentukan panggung besar. Bahwa sejarah kadang ditulis dari kota-kota kecil yang tak masuk radar, tapi bekerja diam-diam di kesadaran banyak orang.
Dan seperti Vespa tua, Crossline mengajarkan satu hal yang jarang diajarkan industri: terus melaju, meski pelan, meski berkarat. (El)
Editor: Redaksi
