-->
bWJ4VIvabJt7GuIhCGKP0i6PjNDtbsjBe315cFMJ
Bookmark
PROMOSIKAN BISNIS ANDA DISINI - HUBUNGI: +62 856-5561-5145

Dinsos Ponorogo Angkat Suara Soal Polemik Baosan Lor: Bantuan Bukan Produk DBHCHT

Foto Ilustrasi. (Doc. Gardajatim.com)
GARDAJATIM.COM:
Dugaan pemotongan bantuan tunai yang mencuat di Desa Baosan Lor, Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo terhadap sejumlah warga kembali memantik sorotan publik.

Sejumlah penerima mengaku bahwa bantuan senilai Rp900 ribu yang mereka terima pada Sabtu, 29 November 2025, di Balai Desa Baosan Lor dipotong oleh oknum RT sebesar Rp70 ribu hingga Rp300 ribu.

Dalam pemberitaan awal, bantuan tersebut sempat disebut sebagai Bantuan Langsung Tunai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (BLT DBHCHT). Namun hasil penelusuran dan klarifikasi dari Dinas Sosial P3A Ponorogo memastikan informasi itu tidak benar. Bantuan yang diterima warga setempat bukan BLT DBHCHT, melainkan BLTS Kesra.

Erny Prasetyaningsih, SE., M.Si., Kabid Perlindungan Jaminan Sosial Dinsos P3A Ponorogo menegaskan, bahwa DBHCHT tidak pernah disalurkan ke Kecamatan Ngrayun dan tidak memungkinkan dipotong.

“Bantuan itu bukan DBHCHT, dan DBHCHT tidak ada sasarannya di Kecamatan Ngrayun. Semua bantuan DBHCHT juga ditransfer langsung ke rekening penerima, sehingga tidak bisa dipotong,” ujar Erny.

Ia menambahkan, hasil pengecekan menunjukkan bahwa bantuan tersebut adalah BLTS Kesra dari bagian Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Daerah.

“Saya kaget karena disebut DBHCHT, padahal bukan produk kami. Setelah dicek, itu BLTS Kesra,” tegasnya.

BLTS Kesra adalah program bantuan tunai yang disalurkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) dengan nominal Rp900.000 per penerima.

Program ini menyasar 35 juta keluarga di seluruh Indonesia berdasarkan data desil 1–4 dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).

Selain itu, warga mengaku tidak mengetahui mengenai jenis bantuan yang mereka terima. Sipar salah seorang warga di wilayah Jajar RT 03 RW 03 Galih, wilayah persiapan dari Desa Baosan Lor mengatakan, bahwa setibanya di rumah setelah menerima bantuan, ia didatangi oknum RT yang menagih potongan.

“Mula-mula saya diminta Rp70 ribu seperti warga lain. Tapi karena saya belum kasih, lalu diminta Rp300 ribu. Saya akhirnya kasih saja. Saya sendirian, takut kalau nanti ada masalah,” ujar Sipar, Minggu, 30 November 2025.

Kesaksian Sipar bukan tunggal. Hampir semua penerima BLTS Kesra mengaku mengalami pemotongan serupa, meski dengan nominal berbeda.

Mereka menyebut praktik tersebut telah terjadi lama, namun baru kali ini berani bersuara.

“Selama ini orang-orang diam karena takut. Tapi kalau terus dibiarkan, kami tetap jadi korban,” ujar salah satu warga yang meminta namanya dirahasiakan.

Kepala Desa Baosan Lor, Parlan, mengaku terkejut begitu laporan warga sampai kepadanya. Ia menyatakan tidak pernah memerintahkan pemotongan bantuan dalam bentuk apa pun.

“Saya sangat kaget dan kecewa. Itu tidak dibenarkan. Malam ini juga saya langsung koordinasi dengan pihak yang diduga melakukan pemotongan,” kata Parlan.

Ia menegaskan bahwa jika dugaan itu terbukti, pihak desa akan menjatuhkan sanksi kepada oknum RT dan mewajibkan pengembalian seluruh uang yang dipotong.

“Kalau terbukti, kami wajibkan pengembalian. Tidak boleh ada pungutan, apalagi bantuan untuk warga tidak mampu,” ujarnya.

Warga berharap kasus ini tidak berakhir sebagai angin lalu. Mereka ingin tindakan tegas, bukan sekadar teguran, agar praktik pemotongan bantuan sosial tidak lagi menjadi tradisi gelap di tingkat bawah.

“Kami ingin ada tindakan nyata. Jangan sampai kejadian ini terus berulang,” kata seorang warga lainnya.

Kasus Baosan Lor kembali mengingatkan bahwa persoalan bantuan sosial tidak hanya soal penyaluran, tetapi juga soal mengawasi agar tidak ada penyimpangan di tingkat paling dekat dengan warga. Di tengah keterbatasan hidup, potongan sekecil apa pun tetap berarti besar bagi mereka yang membutuhkan. (Haiponorogo/Fjr)
Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar