DKP Dorong Perda Kesenian, DPRD Ponorogo Diminta Kawal Reyog Pasca Penetapan UNESCO
Redaksi
... menit baca
![]() |
| Pengurus Dewan Kesenian Ponorogo (DKP) saat audiensi dan public hearing dengan pimpinan DPRD Kabupaten Ponorogo di ruang pimpinan DPRD. (Foto: M. Kusumawicitra) |
Pertemuan yang berlangsung di ruang pimpinan DPRD itu membahas arah pelestarian kesenian dan kebudayaan Ponorogo, terutama Reyog, setelah ditetapkan sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH) UNESCO dan masuk jejaring UNESCO Creative Cities Network (UCCN).
Dalam forum tersebut, DKP memaparkan sejumlah persoalan strategis yang dinilai belum tertangani secara sistematis oleh pemerintah daerah.
Salah satunya keterlibatan DKP dalam meredam konflik klaim Reyog di Malaysia, yang ditunjukkan melalui penyelenggaraan Festival Barong Antara Bangsa di Negeri Jiran dengan memperebutkan Piala Bergilir Bupati Ponorogo.
Ketua DKP Wisnu HP mengatakan, selain isu Reyog, pihaknya juga tengah mengupayakan pendirian Institut Seni Indonesia (ISI) di Ponorogo.
Upaya itu dilakukan dengan mendampingi Pemerintah Kabupaten Ponorogo menjalin kerja sama dengan ISI Surakarta, meskipun masih terkendala persoalan administratif.
“Minat pelajar Ponorogo untuk melanjutkan pendidikan seni ke ISI sangat besar. Sudah selayaknya Ponorogo memiliki ISI sendiri. Kami berharap DPRD bisa memfasilitasi,” ujar Wisnu.
DKP juga mendorong agar Peraturan Daerah tentang Kesenian dan Kebudayaan segera disusun dan disahkan.
Perda tersebut dinilai penting untuk melindungi bahan baku Reyog, sekaligus memberi perlindungan hukum, sosial, dan ekonomi bagi para pelaku seni.
DKP menyoroti minimnya pelibatan lembaga tersebut oleh pemerintah daerah dalam berbagai agenda kesenian dan kebudayaan.
Sorotan lebih tajam disampaikan Dedy Satya Amijaya dari Bidang Tari DKP. Ia menilai arah kebijakan Pemkab Ponorogo pasca-penetapan Reyog sebagai ICH UNESCO belum sepenuhnya jelas.
Hingga kini, belum ada satu pun lembaga nonpemerintah yang ditunjuk secara resmi untuk mengawal pelaksanaan tujuh amanat UNESCO terkait Reyog.
“Ponorogo hanya punya waktu sekitar tiga tahun untuk mengimplementasikan amanat itu. Jika tidak dikawal dan dilaporkan secara transparan, status tersebut bisa terancam dicabut,” kata Dedy.
Wakil Ketua DKP sekaligus seniman pedalangan, Purbo Sasongko menambahkan, bahwa dukungan materiil pemerintah terhadap siswa yang mengikuti kompetisi seni dan budaya masih minim.
Sementara itu, Masrofiqi M dari Litbang DKP mengusulkan agar perhatian pemerintah tidak hanya terfokus pada Reyog, tetapi juga kesenian otentik lain seperti Gajah-gajahan, Gong Gumbeng, dan Odrot, agar didaftarkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia milik Ponorogo.
Priyo dari Divisi Hubungan Internasional DKP kembali menegaskan pentingnya implementasi kurikulum muatan lokal Reyog di sekolah-sekolah, yang hingga kini dinilai belum berjalan optimal.
Audiensi tersebut diterima unsur pimpinan DPRD Ponorogo, Anik Suharto dan Evi Dwitasari. Keduanya mengapresiasi inisiatif DKP sebagai bentuk komitmen menjaga keberlanjutan kesenian dan kebudayaan Ponorogo.
“Hasil audiensi ini akan kami komunikasikan dengan pimpinan DPRD, terutama terkait Perda Kesenian dan Kebudayaan. Namun penyusunannya tidak bisa tergesa-gesa, perlu diskusi mendalam dengan OPD terkait, akademisi, dan pelaku seni,” ujar Anik Suharto.
Anik juga merespons positif usulan Festival Reyog Anak agar dikemas sesuai usia dan bebas dari unsur kedewasaan.
Evi Dwitasari menegaskan bahwa Perda Kesenian dan Kebudayaan merupakan kebutuhan mendesak, mengingat regulasi tersebut juga menjadi bagian dari amanat UNESCO.
Menurut dia, Perda akan menjadi dasar pengawasan penggunaan bahan baku Reyog agar tidak melanggar aturan perlindungan satwa, sekaligus acuan pembangunan kebudayaan Ponorogo, baik fisik maupun sumber daya manusia.
“Melalui Perda inilah kepentingan pelestarian seni dan budaya bisa dianggarkan secara sah. Prosesnya bertahap dan membutuhkan kesabaran,” kata Evi.
DKP berharap sinergi antara pemerintah daerah, DPRD, dan pelaku seni dapat terus terjaga agar kesenian dan kebudayaan Ponorogo tetap lestari dan terwariskan lintas generasi dalam jangka panjang. (M. Kusumawicitra)
Editor: Redaksi
Sebelumnya
...

