-->
bWJ4VIvabJt7GuIhCGKP0i6PjNDtbsjBe315cFMJ
Bookmark
PROMOSIKAN BISNIS ANDA DISINI - HUBUNGI: +62 856-5561-5145

Antroposen dan Kegagalan Etika di Sumatra: Refleksi Bencana Hidrometeorologi 2025

Nadhif Muhammad Mumtaz.
GARDAJATIM.COM:
Bencana hidrometeorologi parah yang melanda Sumatra di akhir November 2025, yang menelan lebih dari 400 korban jiwa akibat banjir bandang, tidak sekadar disebabkan oleh anomali cuaca ekstrem seperti Siklon Tropis Senyar dan curah hujan harian melebihi 300 mm, melainkan merupakan akumulasi "dosa ekologis" dan kegagalan etika manusia. 

Data ilmiah dari Peneliti Hidrologi Hutan UGM, Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, secara tegas mengaitkan daya rusak bencana dengan rapuhnya benteng alam di kawasan hulu: hutan alami di Sumatra, yang sebagian besar telah terdeforestasi (misalnya, Aceh kehilangan >700.000 hektare hutan dalam kurun 1990–2020), telah kehilangan fungsi hidrologis vitalnya.

Padahal, hutan utuh mampu menahan air hujan hingga 15-35\% melalui intersepsi dan menginfiltrasi hingga 55\% ke dalam tanah, sehingga hanya menyisakan 10-20\% limpasan permukaan. Namun, ketika fungsi ini hilang akibat konversi lahan, air hujan deras menjadi limpasan permukaan masif yang memicu erosi, longsor, dan pendangkalan sungai, menjadikan cuaca ekstrem sebagai pemicu bencana katastrofik.

Kegagalan ini berakar pada penyimpangan filosofis manusia dari peran Khalifah fil Ardh (pengelola yang bertanggung jawab) menjadi Khilafah fil Ardh (subjek yang dominatif), sebuah pemikiran yang dapat dibedah melalui dua konsep etika lingkungan yang mendasar.

Pertama, fenomena ini menunjukkan kegagalan mempraktikkan Ekologi Mendalam (Deep Ecology) yang digagas oleh Arne Næss dalam bukunya Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, di mana ia menentang antroposentrisme (manusia sebagai pusat nilai) dan menyerukan pengakuan atas nilai intrinsik alam, bukan hanya nilai instrumentalnya.

Næss menyatakan, "Prinsip penting adalah bahwa semua bentuk kehidupan memiliki hak untuk hidup dan berkembang (dan ini adalah sebuah nilai intrinsik), dan nilai kehidupan non-manusia harus dihormati terlepas dari kegunaannya bagi tujuan manusia." 

Kedua, tragedi ini adalah manifestasi konkret dari peringatan Etika Tanggung Jawab (The Imperative of Responsibility) dari Hans Jonas dalam bukunya The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age, yang mendesak perumusan etika yang mampu menghadapi dampak teknologi jangka panjang.

Jonas berpendapat, "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga dampak tindakanmu sesuai dengan kelangsungan hidup kehidupan yang otentik di bumi," sebuah imperatif yang jelas-jelas dilanggar oleh praktik deforestasi masif dan alih fungsi lahan yang mengancam keselamatan generasi mendatang di hilir sungai Sumatra.


Opini oleh: Nadhif Muhammad Mumtaz 
Peneliti di Institute for Transformative Research on Sustainability and ReIigios Action (INTIRA)
Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar